Apa dan Bagaimana Home Education
Disclaimer : materi yang saya tulis ini bukan milik saya. All credits dari Tim Pengurus HEbAT Pusat. Saya tuliskan kembali dengan tujuan sebagai catatan pribadi dan berbagi manfaat.
Bagian 1
Home
Education (Pendidikan berbasis Rumah)
Peradaban
sesungguhnya berawal dari sebuah rumah, dari sebuah keluarga. Home Education
(HE) itu bersifat wajib bagi kita yang berperan sebagai penjaga amanah.
Karena sesungguhnya HE itu adalah kemampuan alami dan kewajiban syar'i yang
harus dimiliki oleh setiap orang tua yang dipercaya menjaga
amanahNya. Jadi tidak ada yang “LUAR BIASA” ketika kita mengerjakan HE.
Kita hanya akan melakukan yang “SEMESTINYA” orangtua lakukan. Maka syarat
pertama “dilarang minder” ketika pilihan anda berbeda dengan yang lain. Karena
kita sedang menjalankan “misi hidup” dari sang Maha Guru (Allah Azza wa
Jalla).
Home
Education dimulai dari proses
seleksi ayah/ibu yang tepat untuk anak-anak kita, karena hak anak pertama
adalah mendapatkan ayah dan ibu yg baik. Setelah itu dilanjutkan dari proses
terjadinya anak-anak, di dalam rahim, sampai dia lahir. Tahap berikutnya dari
usia 0-7 tahun, usia 8-14 tahun, dan usia 14 tahun ke atas kita sudah mempunyai
anak yg aqil baligh secara bersamaan.
Home
Education sebagai orang
tua dan anak nyaris selesai di usia 14 th ke atas. Orang tua berubah fungsi
menjadi coach anak dan mengantar anak menjadi dewasa, delivery method
HE pun sudah jauh berbeda. Kita dipercaya sebagai penjaga amanahNya, SEMESTINYA
kita menjaganya dengan ilmu. Jadi orang tua yang belajar khusus untuk mendidik
anaknya seharusnya hal BIASA, tapi sekarang menjadi hal yang LUAR BIASA karena
tidak banyak orang tua yg melakukannya.
Hal-hal yang SEMESTINYA orang tua
lakukan :
[1] Mendidik
[2] Mendengarkan
[3] Melayani (pd usia 0-7 thn)
[4] Memberi rasa aman&nyaman
[5] Menjaga dari hal-hal yg merusak jiwa dan
fisiknya
[6] Memberi contoh dan keteladanan
[7] Bermain
[8] Berkomunikasi
dengan baik sesuai usia anak
Bagian 2
“OUTSIDE
IN“ vs “INSIDE OUT”
Tugas mendidik bukan menjejali “OUTSIDE
IN“, tetapi “INSIDE OUT” yaitu menemani anak-anak menggali dan menemukan
fitrah-fitah baik itu sehingga mereka menjadi manusia seutuhnya (insan kamil)
tepat ketika mencapai usia aqil baligh. Satu-satunya lembaga yang tahu betul
anak-anak kita, mampu telaten dan penuh cinta hanyalah umah (ibu) dimana amanah
mendidik adalah peran utama ayah bundanya. Anak lahir ke muka bumi membawa
fitrahnya, sehingga perlu pendidikan yang mengeluarkan fitrah anak tersebut:
· [1] Fitrah Kesucian.
Inilah
yang menjelaskan mengapa tiap manusia mengenal dan mengakui adanya Tuhan,
memerlukan Tuhan, sehingga manusia memiliki sifat mencintai kebenaran,
keadilan, kesucian, malu terhadap dosa.
· [2] Fitrah Belajar.
Tidak
satupun manusia yang tidak menyukai belajar, kecuali salah ajar. Khalifah (pemimpin)
di muka bumi tentunya seorang pembelajar tangguh sejati.
· [3] Fitrah Bakat.
Ini
terkait misi penciptaan spesifik atau peran spesifik khalifah (pemimpin) atau peradaban,
sehingga setiap anak yang lahir ke muka bumi pasti memiliki bakat yang
berbeda-beda.
· [4] Fitrah Perkembangan.
Setiap manusia memiliki tahapan perkembangan
hidup yang spesifik dan memerlukan pendidikan yang sesuai dengan tahapannya,
karena perkembangan fisik dan psikologis anak bertahap mengikuti pertambahan usianya. Misalnya, Allah tidak memerintah ajarkan shalat sejak
dini, tetapi ajarkan shalat jika mencapai usia 7 tahun. Pembiasaan boleh
dilakukan tapi tetap harus didorong oleh dorongan penghayatan aqidah berupa
cinta kepada Allah dari dalam diri anak-anak.
Pendidikan Berbasis Shiroh
Kita
perlu mengkaji lebih dalam pendidikan yang dialami oleh Rasulullah dari lahir
sampai dewasa, sebagai contoh pendidikan untuk anak-anak nanti.
PENDIDIKAN
dan PERSEKOLAHAN adalah
hal yang berbeda. Bukan sekolah atau tidak sekolah yang ditekankan, tetapi
bagaimana pendidikan yang sesuai dengan fitrah anak sehingga potensi alamiah
anak dapat dikembangkan, karena setiap anak memiliki potensi yg merupakan
panggilan hidupnya.
Pendidikan Berbasis Potensi
& Akhlak
Yang
dimaksud adalah yang terkait dengan performance. Dimulai dengan mengenal
sifat bawaan atau secara istilah Abah Rama menyebutkan dengan Personality
Productive yang kemudian menjadi aktivitas dan performance, lalu
menjadi karir dan peran peradaban yang merupakan panggilan, akhirnya menentukan
destiny. Jadi pengembangan potensi berkaitan dengan performansi, namun
performansi memerlukan nilai-nilai yang disebut sebagai akhlak dan moral
karakter. Dalam mengembangkan bakatnya, anak-anak perlu diingatkan dan
diteladankan dengan nilai-nilai dalam keyakinannya (Al Islam) agar perannya
bermanfaat dan rahmat atau menjadi akhlak mulia. ”Setiap keluarga memiliki
kemerdekaan untuk menentukan dan mengejar mimpinya, termasuk dalam hal
pendidikan.”
Bagian 3
Tazkiyatunnafs
Secara
sederhana dimaknai sebagai pensucian jiwa, membersihkan hati dengan banyak
mendekat, memohon ampun, menjaga serta berhati-hati dari hal-hal yg syubhat
apalagi haram atau waro’ kepada Allah dengan harapan keridhaan Allah SWT agar ditambah
hidayah sehingga fitrah nurani memancar dalam akhlak dan sikap serta kesadaran
yang tinggi atas peran (tauiyatul a’la). Pendidikan anak atau generasi memerlukan
ini sebagai pondasi awal.
Selanjutnya
adalah masalah teknis. Umumnya kecemasan, obsesif, banyak menuntut atau
banyak memaksa atau sebaliknya, tidak konsisten (dalam arti sesuai fitrah anak, bukan obsesi orang
tua), tidak percaya diri mendidik anak, muncul karena kurangnya tazkiyatun nafs
(pensucian hati) para orang tuanya sehingga mudah terpengaruh oleh “tuntutan
atau perlakuan” yang tidak sesuai atau menciderai fitrah. Tujuan tazkiyatun nafs
orang tua, adalah agar kita kembali kepada kesadaran fitrah kita dengan
memahami konsep pendidikan sejati sesuai fitrah. Ketika orang tua menginginkan
anaknya shalih maka orang tua harus memahami konsep kesejatian/fitrah anak dan
makna keshalihan sesungguhnya. Shalih adalah amal, bukan status.
Pesan
dari Bunda Septi yang selalu kami pegang, “Untuk itu siapkan diri, kuatkan
mental, bersihkan segala emosi dan dendam pribadi, untuk menerima SK (Surat
Keputusan) dari yang Maha Memberi Amanah. Jangan pernah ragukan DIA. Jaga amanah dengan sungguh-sungguh,
dunia Allah yang atur, dan nikmati perjalanan anda.”
Bagian 4
Metode
dan Cara
Sudah
tidak diragukan lagi bahwa mendidik (bukan mengajarkan) Aqidah sejak usia dini,
adalah hal yang mutlak. Aqidah yg kokoh akan amat menentukan pilihan-pilihan
serta pensikapan-pensikapan yg benar dan baik dalam kehidupan anak-anak kita kelak
ketika dewasa. Lalu bagaimana metode dan caranya? Menurut yang saya pahami
secara sederhana. Pertama, setiap pendidik atau orang tua perlu menyadari bahwa
sesungguhnya setiap anak manusia yang lahir sudah dalam keadaan memiliki fitrah
aqidah atau keimanan kpd Allah Swt.
Setiap
manusia pernah bersaksi akan keberadaan Allah swt, sebelum mereka lahir ke dunia.
Maka tidak pernah ditemui di permukaan bumi manapun, bangsa-bangsa yang tidak
memiliki Tuhan, yaitu Zat Yang Maha Hebat tempat menyerahkan dan menyandarkan
semua masalah dalam kehidupan. Yang kedua adalah bahwa tugas mendidik adalah
membangkitkan kembali fitrah keimanan ini, namun bukan dengan doktrin atau
penjejalan pengetahuan tentang keimanan, namun dengan menumbuhkan (yarubbu/inside
out) kesadaran keimanan melalui imaji-imaji positif tentang Allah SWT,
tentang ciptaanNya yang ada pada dirinya dan ciptaanNya yg ada di alam semesta.
Dengan begitu maka, yang ketiga adalah
dengan metode untuk sebanyak mungkin belajar melalui hikmah-hikmah yang ada di
alam, hikmah yang ada pada peristiwa sehari-sehari, hikmah pada sejarah,
hikmah-hikmah pada keteladanan dstnya.
[1] Menjadi penting membacakan kisah-kisah
keteladanan orang-orang besar yang memiliki akhlak mulia sepanjang sejarah,
baik yang ada dalam Kitab Suci maupun Hadits maupun yang ditulis oleh orang-orang
sholeh sesudahnya.
[2] Menjadi penting senantiasa merelasikan
peristiwa sehari-hari dengan menggali hikmah-himah yang baik dan inspiratif.
[3] Menjadi penting untuk senantiasa belajar
dengan beraktifitas fisik di alam dengan meraba, merasa, mencium aroma,
mengalami langsung dstnya.
Metode
berikutnya, tentu saja kisah-kisah penuh hikmah itu perlu disampaikan dengan
tutur bahasa yg baik, mulia dan indah bahkan sastra yg tinggi. Menjadi penting
bahwa tiap anak perlu mendalami bahasa Ibunya dan bahasa Kitab Sucinya. Bukan
mampu meniru ucapan, membaca tulisan dan menulis tanpa makna, namun yg
terpenting adalah mampu mengekspresikan gagasan-gagasan dalam jiwanya secara
fasih, lugas dan indah, sensitif terhadap makna kiasan dalam bahasa sastra yg
tinggi.
Para
Sahabat Nabi SAW yang dikenal tegas namun memiliki empati dan sensitifitas yang
baik serta visioner umumnya sangat menggemari sastra. Semua metode itu
bertujuan untuk membangun kesadaran keimanan melalui imaji-imaji positif lewat
kisah yang mengisnpirasi, melalui kegairahan yang berangkat dari keteladanan,
pemaknaan yang baik melalui bahasa ibu yang sempurna dstnya.
Imaji
negatif akan melahirkan luka persepsi dan luka itu akan membuat pensikapan yang
buruk ketika anak kita kelak dewasa. Sampai sini kita menyadari bahwa
peran orangtua sebagai pendidik yang penuh cinta serta telaten maupun sebagai
sosok yang diteladani dan menginspirasi tidak dapat digantikan oleh siapapun,
apalagi dalam membangkitkan kesadaran keimanan anak-anaknya. Maka penting bagi
para pendidik untuk melakukan pensucian jiwa (tazkiyatun nafs) sebelum
memulai mendidik dengan Al Qur’an dan hikmah.
Bukankah orangtualah yg akan dimintai
pertanggungjawaban kelak di akhirat, bukan yang lain?
Oleh
: Ust. Harry Santosa dan Bunda Septi Peni Wulandani
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensiakhlak
Disusun
oleh: Tim Pengurus Pusat HEbAT
Tidak ada komentar untuk "Apa dan Bagaimana Home Education"
Posting Komentar